• Jumat, 29 September 2023

Kesaksian Warga Tionghoa saat Kerusuhan Mei 1998 dan di Bawah Rezim Orde Baru Soeharto

- Selasa, 30 Mei 2023 | 13:56 WIB
Kerusuhan Mei 1998. Foto: Istimewa
Kerusuhan Mei 1998. Foto: Istimewa
 
HARIAN MASSA - Aksi penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan pada Mei 1998 masih sangat membekas dalam ingatan Cindy Lim. 
 
Melalui Twitter miliknya Cindy Lim @SLim456789, dia membagikan peristiwa muram yang menyasar warga Tionghoa tersebut. 
 
"Saya tinggal di Jakarta ketika itu terjadi. Selama beberapa minggu keluarga saya bersembunyi di rumah," katanya, Selasa (30/3/2023). 
 
 
Mereka ketakutan dan tidak berdaya. Saluran TV menayangkan berita amuk massa yang sangat seram dan menyasar warga Tionghoa
 
"Di TV kami melihat rumah-rumah Tionghoa Indonesia dijarah dan dibakar, laporan pemerkosaan, dan banyak doa," sambungnya. 
 
Sebagai orang yang besar pasa era Orde Baru Soeharto, dia mengaku tidak kaget dengan peristiwa yang terjadi. 
 
"Saya besar di era Soeharto. Seorang diktator yang menjadi presiden melalui kudeta yang didukung CIA," ungkapnya. 
 
 
Dari sekitar tahun 1950-an hingga 1970-an, Asia Tenggara adalah wilayah yang diperebutkan oleh Demokrat dan Komunis.
 
Soeharto adalah kubu Demokrat yang pro pimpinan AS. Setelah Soeharto berkuasa, dia membunuh sekitar 2 juta orang Indonesia dalam upaya untuk membersihkan Komunis.
 
"Banyak orang Cina. Pembantaian itu sangat brutal. Bahkan pedagang PKI (Partai Komunis Indonesia) seperti percetakan, tukang kayu ditangkap dan dibunuh," sambungnya. 
 
Setelah itu, Soeharto memerintah dengan tangan besi, melarang rakyat membicarakan peristiwa itu dengan kekuatan militer.
 
 
"Tidak ada yang berani menentangnya. Pembantaian itu terkubur selama 30-40 tahun ke depan. Provinsi Aceh akan menjadi sasarannya untuk ditindas. Tidak ada yang menyadarinya," jelasnya.
 
Untuk menunjukkan Soeharto yang pro-Barat menghilangkan banyak detail pendudukan dan kekejaman Belanda dan Jepang dari sejarah, mereka menyalahkan komunis dan PKI atas kudeta yang terjadi.
 
"Peran CIA di Indonesia sejak tahun 1950-an dan peristiwa pengeboman tahun 1958 tidak pernah disebutkan dalam buku teks manapun," tambahnya. 
 
Indonesia tidak pernah menjadi negara yang benar-benar demokratis setelah kemerdekaannya, pada tahun 1945.
 
 
"Tetapi di bawah Soeharto kami mengadakan pemilu yang dimenangkannya selama 32 tahun berturut-turut," ungkapnya. 
 
Menurutnya, hubungan antara Soeharto dan AS dimulai ketika perusahaan Amerika Freeport McMoran menemukan deposit emas terbesar di dunia di Papua Barat.
 
Tidak hanya itu, Soeharto membantu Freeport menginvasi Papua.
 
Peristiwa yang mengarah ke kudeta 1966 dan kebangkitan Sinophobia (strategi yang ditanam selama masa penjajahan Belanda dan Inggris) oleh CIA dicatat dalam buku ini.
 
 
"Banyak orang Tionghoa Indo yang tersisa saat ini. Beberapa kembali ke China," jelasnya. 
 
Selanjutnya, setelah mengambil alih kekuasaan Soeharto mulai menindas Indo Cina.
 
"Dia memaksa kami untuk membuang nama Tionghoa kami dan memilih nama yang terdengar lokal. Ayah saya dan saudara-saudaranya berakhir dengan nama keluarga yang berbeda," bebernya.
 
Undang-undang yang melarang Tionghoa mempraktekkan budaya mereka diberlakukan dan mereka diklasifikasikan sebagai warga negara keturunan asing, meskipun telah berada di Indonesia secara turun-temurun, bahkan ada yang datang sekitar tahun 1500-an.
 
 
Sejarah orang Tionghoa yang datang pada tahun 1500-an dan membantu penyebaran Islam di wilayah tersebut juga dituliskan.
 
"Itu adalah sejarah penting, karena nantinya Tionghoa akan menjadi sasaran kebencian dari ekstremis Muslim, yang mengakibatkan serangan etnis Tionghoa pada Mei 1998," sambungnya.
 
Menguasai negara kepulauan dengan 13.000 pulau dan hampir 200 juta penduduk bukanlah hal yang mudah.
 
Di beberapa provinsi yang jauh dari pulau utama Jawa, banyak orang Tionghoa yang tetap mempertahankan budaya.
 
 
"Komunitas saya berbicara bahasa Teochew dan Hakka. Saya pernah dihukum karena berbicara bahasa China kepada teman-teman di sekolah dan merayakan CNY," ungkapnya. 
 
Selama di sekolah, mereka juga diajarkan komunis lebih buruk dari setan. Bahasa yang diajarkan adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
 
"Karena Konfusianisme dilarang, banyak orang Tionghoa beralih ke Katolik dan Kristen," tegasnya. 
 
Lebih jauh, dia mengatakan, Sinofobia di Asia Tenggara dimulai pada masa kolonial. Belanda melihat kecakapan ekonomi pemukim China sebagai ancaman dan membagi Cina dan non-China.
 
 
"Mereka semakin tidak senang dengan orang Tionghoa setelah orang Tionghoa bekerja sama dengan Pribumi untuk melawan mereka pada tahun 1741," tambahnya. 
 
Selama beberapa ratus tahun setelah itu, Indo Tionghoa akan mengalami penganiayaan demi penganiayaan.
 
"Puluhan ribu dari kami tewas dalam proses itu," ungkapnya.
 
Lebih banyak orang Tionghoa kemudian tiba di akhir tahun 1800 dan awal tahun 1900, karena kemiskinan yang berkepanjangan dan invasi asing di Tiongkok.
 
 
"Kakek buyut saya adalah bagian dari kelompok pengungsi perang itu. Salah satu dari mereka kemudian ditangkap kemudian dibunuh oleh Jepang di Indonesia setelah melarikan diri dari mereka di China," katanya. 
 
Dilanjutkan dia, AS memenangkan pertarungan di Asia Tenggara dan menanam pengaruh ekonomi mereka. Sebagian besar negara-negara Asia Tenggara mematok sistem keuangan mereka terhadap dolar AS.
 
Pada tahun 1997 ketika AS menaikkan suku bunga, sistem keuangan SEA hancur. Indonesia mengalami hiperinflasi.
 
"Banyak orang tidak mampu membeli makanan. Pada bulan Mei 1998 polisi menembaki demonstran anti-pemerintah, kerusuhan pecah, dan orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan warga sipil," tukasnya. 
 

Editor: Ibrahim H

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X