• Kamis, 28 September 2023

Tirto Adhi Soerjo dan Sejarah Awal Pers Pribumi di Hindia Belanda (1)

- Senin, 2 Agustus 2021 | 10:07 WIB
Bromatani, koran berbahasa Jawa pertama terbitan Surakarta (1855-1856). Foto: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Bromatani, koran berbahasa Jawa pertama terbitan Surakarta (1855-1856). Foto: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

"Modern! Dengan cepatnya kata itu menggelumbang dan membiakkan diri seperti bakteria di Eropa sana. (Setidak-tidaknya menurut kata orang). Maka ijinkanlah aku ikut pula menggunakan kata ini, sekalipun aku belum sepenuhnya dapat menyelami maknanya." Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia.

HARIAN MASSA - Siapa yang masih mengingat namanya, Tirto Adhi Soerjo (TAS). Sosoknya diabadikan dalam lima buku tebal karangan sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca dan Sang Pemula). Salah satu surat kabar nasional, bahkan memakai namanya sebagai identitas diri, Tirto.

Pada ulasan pertama di halaman Humaniora ini, kami sengaja memberikan penghargaan kepada TAS, dengan membuat tulisan singkat tentangnya. Sejarah Indonesia modern menyebutnya sebagai sang pemula, sang penyuluh kemajuan.

Sebagai seorang priyayi yang terjun ke dalam dunia jurnalistik dan pergerakan, TAS memang layak dikenang dengan segala kebesarannya. Pribumi pertama yang sadar menggunakan jurnalistik dan organisasi modern untuk membangunkan bangsanya ini, bahkan harus rela kehilangan kemerdekaan pribadinya demi kemerdekaan umum.

Baca Juga: Terekam CCTV, Maling Sasar Motor Milik Yayasan Maskanulhuffadz di Bintaro

Sebelum TAS memulai gerakannya, tidak ada pribumi yang menerbitkan surat kabar. Semua bisnis surat kabar dikuasai dan dikendalikan oleh golongan Belanda, Indo, dan China. Surat kabar itu juga hanya mewakili kelompok kecil saja.

Dalam buku De Courant, Stijhoff, Leiden 1885, disebutkan bahwa surat kabar untuk pribumi yang bermodalkan Belanda dan China, pertama terbit di Hindia Belanda, pada pertengahan abad ke-19 atau tepatnya pada 1855. Sebut saja Bromartani atau Juru warta dengan Penerbit nya Harteveldt di Surakarta, Soerat Kabar Bahasa Melajoe yang diterbitkan oleh E. Guhri di Surabaya, dan Biang Lala, surat kabar zending yang digawangi oleh seorang guru Stefanus Sandiman.

Seperti Bromartani misalnya. Surat kabar ini terbit dalam bahasa Jawa dan usianya hanya beberapa tahun. Tetapi, delapan tahun kemudian terbit Djoeroemartini, dengan pengelolanya orang Belanda yang dipercaya Kraton Sala, sebagai ahli bahasa Jawa, Karel F winter. Atas intervensi Sri Susuhunan Pakubuwono IX, surat kabar ini jadi Bromartani.

Baca Juga: Kamu Seorang Youtuber Pemula, Hindari Konten-konten Seperti Ini Kalau Tidak Ingin di Banned

Pada dekade terakhir abad XIX, saat terjadi perubahan pada UU Pers dari sensor preventif menjadi represif, jumlah dan peredaran terbitan berkala berbahasa Melayu dan daerah di Hindia Belanda naik dari delapan judul pada 1890, menjadi 18 judul pada 1905, dan 36 judul pada 1910. Dan pada saat itu, hanya orang-orang Indo yang aktif di jurnalistik.

Sebut saja yang cukup menonjol, yakni HCO Clockener Brousson dari Bintang Hindia, EF Wiggers dari Bintang Barat, dan G Francis dari Pemberita Betawi. Setelah golongan Indo, adalah golongan Tionghoa yang kemudian menyusul.

Pada 1905, orang-orang Tionghoa mulai menerbitkan satu surat kabar di Jawa, dan menjadi lima pada 1907, sembilan pada 1909 dan 15 pada 1911. Pada periode perkembangan pers Tionghoa ini, TAS dan kaum bumiputera mulai ikut andil. Pertama-taman dengan menjadi wartawan magang, pada jurnalis Indo dan Tionghoa. Kemudian, naik kelas menjadi redaktur pada surat kabar Indo dan Tionghoa, hingga akhirnya menerbitkan satu surat kabar pribumi sendiri.

Baca Juga: Awali Infaq Bantu Warga Terdampak PPKM, Benyamin Davnie Pancing ASN Ber-infaq Rp 1 Juta

Adapun, orang-orang pribumi awal yang menggawangi karir jurnalistik di Hindia Belanda, pada dekade awal abad ke-XX, di Batavia (sekarang Jakarta) adalah RM Tirtoadiwinoto, FDJ Pangemanan, dan RM Toemenggoeng Koesoemo Oetojo yang menjadi redaktur kepala Ilmu Tani, Kabar Peniagaan dan Pewarta Prijaji. Sedang di Surakarta ada R Dirdjoatmodjo penyunting Djawi Kanda dan di Yogyakarta ada Dr Wahidin Soedirohoesodo yang menjadi redaktur Retnodhoemilah.

Halaman:

Editor: Ibrahim H

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kisah Ken Arok, dari Sudra Menjadi Raja Singasari

Jumat, 22 September 2023 | 06:30 WIB
X