• Kamis, 28 September 2023

Pendidikan Zaman Jepang: Ribuan Sekolah Tutup, Siswa Disuruh Latihan Berbaris sampai Pingsan

- Minggu, 14 Agustus 2022 | 21:23 WIB
Siswa sekolah dasar zaman Jepang dilatih memegang senjata. Foto: Istimewa
Siswa sekolah dasar zaman Jepang dilatih memegang senjata. Foto: Istimewa

HARIAN MASSA - Serangan bom atom di Kota Hiroshima, pada 6 Agustus 1945 dan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945, memiliki arti besar bagi perjuangan kemerdekaan dan dunia pendidikan di Indonesia.

Seperti diketahui, dalam serangan bom atom di Hiroshima sebanyak 140.000 warga Jepang tewas dan saat serangan bom di Nagasaki sebanyak 80.000 orang tewas. Peristiwa ini menjadi pukulan berat bagi Kekaisaran Jepang.

Dalam menyikapi serangan mematikan dari Amerika Serikat (AS) itu, pertanyaan Kaisar Jepang Hirohito yang pertama kepada para pemimpin angkatan perangnya adalah, berapa jumlah guru yang masih tersisa?

Baca juga: Kisah Pedih Jaya Suprana Jadi Korban G30S, Ayahnya Diculik Tengah Malam pada Oktober 1965

Guru merupakan elemen penting dalam perjuangan, dan kemajuan suatu bangsa. Pada titik terendah itu, Jepang berusaha membangun kembali rakyatnya melalui pendidikan, di mana guru memiliki peran yang sangat penting.

Hasilnya, dapat dilihat sekarang, di mana Jepang berada dalam urutan ketiga besar dunia, setelah Amerika Serikat dan Cina, terutama dalam dunia industri dan tatanan ekonomi pasar bebas. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, prilaku tentara Jepang sangat biabad. Pernyataan Kaisar Jepang Hirohito tentang pendidikan, tidak ada artinya bagi rakyat Indonesia. Pendidikan zaman Jepang, sama dengan tamparan dan pemerkosaan.

Baca juga: Tragedi Awal Kemerdekaan, Pembunuhan 653 Warga Cina Benteng di Tangerang

Para pelajar di kota-kota, hampir tidak bisa belajar di sekolah masing-masing. Taiso (gerakbadan), kyoren (latihan baris-berbaris), dan kinsohooshi (kerjabakti), menyita sebagian besar jam pelajaran.

Pendidikan bagi militer Jepang, adalah gemblengan fisik. Yang menyedihkan, semua dilakukan saat para pelajar kekurangan makanan dan dalam kondisi kelaparan. Tetapi, tentara Jepang tidak peduli semua itu.

"Bila seorang pelajar jatuh pingsan, karena tubuhnya sudah terlalu lemah, orang Jepang atau pelatih atau kepala rombongan, orang Indonesia, akan menyadarkannya dengan tamparan bertubi-tubi," kenang Pramoedya Ananta Toer, seperti dikutip dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.

Baca juga: Penulis Favorit yang Membentuk Karakter Kerakyatan Pramoedya Ananta Toer

Kekejaman tentara Jepang menimbulkan kemarahan bagi para pelajar dan perlawanan. Pembangkangan terhadap aturan pendidikan zaman Jepang dimulai oleh mahasiswa dari Asrama Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku), di Jalan Prapatan 10, Jakarta.

Asrama ini menampung bekas mahasiswa Geneeskundige Hoge School (GHS) dan Nederlands Indische Artsen School (NIAS). Perlawanan dilakukan dengan cara menggunduli kepala sampai botak.

Halaman:

Editor: Ibrahim H

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kisah Ken Arok, dari Sudra Menjadi Raja Singasari

Jumat, 22 September 2023 | 06:30 WIB
X