HARIAN MASSA - Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia era Orde Baru, Wardiman Djojonegoro memiliki pengalaman buruk lolos dari hukuman pancung militer Jepang, saat berada di Kalimantan.
Dalam bukunya, Sepanjang Jalan Kenangan, dia menceritakan saat pendudukan Jepang di Indonesia. Saat itu, dirinya bersama keluarga masih berada di Balikpapan. Mereka pun diminta untuk segera mengungsi.
"Pemerintah Belanda menyuruh istri dan anak pegawai pemerintah, termasuk guru dan keluarganya untuk pergi mengungsi. Maka, ibu dan kami pergi mengungsi, pada 1941," katanya, dikutip dari halaman 12.
Baca juga: Riwayat Bom Atom Hiroshima-Nagasaki dan Kekalahan Jepang di Perang Dunia II
Saat pendudukan Jepang, wilayah Kalimantan dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang. Sedangkan Jawa, dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang. Angkatan Laut Jepang memiliki kewenangan pembersihan atau ethnic cleasing.
Mereka lalu mengumpulkan guru dan golongan terpelajar di wilayah itu untuk menyatakan ikrar kesetiaan kepada tentara pendudukan Jepang. Di antara yang diminta menyatakan ikrar itu keluarga Wardiman.
"Tetapi syukurlah, Ayah bersama enam temannya yang juga guru menolak datang dan melarikan diri masuk hutan, karena tidak percaya Jepang mempunyai niat baik," sambungnya.
Baca juga: Serangan Bom Atom Hiroshima-Nagasaki dan Buruknya Pendidikan Zaman Jepang
Benar saja, ternyata guru dan kaum cerdik pandai yang dikumpulkan di balai kota untuk menyatakan ikrar setia terhadap militer Jepang itu kemudian ditangkap dan dihukum pancung semuanya.
Tidak main-main, total korban yang tewas dari guru dan kaum cerdik pandai yang dihukum pancung oleh militer Jepang, jumlahnya mencapai sekitar 40.000 jiwa. Keluarga Wardiman yang melarikan diri pun akhirnya selamat.
"Diperkirakan ada 40.000 guru dan kaum cerdik pandai dipancung di Balikpapan, Kalimantan Timur, Pontianak, Kalimantan Barat, dan Banjarmasih, Kalimantan Selatan," bebernya.
Baca juga: Wawancara Ekslusif: Jacob Cass, Habiskan Ratusan Juta Koleksi Foto dan Dokumen Penting Indonesia
Peristiwa pembunuhan terhadap 40.000 jiwa tenaga guru dan kaum cerdik pandai di Kalimantan ini merupakan kejahatan perang serius militer Jepang di Indonesia. Hingga kini, tidak ada yang menggugat peristiwa itu.
"Saya heran, kenapa pembunuhan massal oleh tentara Jepang ini dikemudian hari tidak ada yang menggugat, seperti halnya protes mengenai Heiho dan jugun ianfu ataupun peristiwa Westerling," pungkasnya.
Artikel Terkait
Inilah Sejarah Kesucian Kain Hitam Penutup Kabah
Gempa Bumi Dangkal dengan Kekuatan M4,6 Mengguncang Bali, 4 Rumah Alami Kerusakan
Rentetan Gempa Bumi di Bali Tidak Ada Kaitannya dengan Aktivitas Gunung Agung
Pesan Pelinus Balinal di Hari Ikrar Gerakan Pramuka
Obor Elektrik Ramaikan Tahun Baru Islam 1444 Hijriyah di Tangsel
Truk Terguling Timpa Minibus di Jember, 3 Tewas 4 Lainnya Luka-luka
Kawasan Perbukitan Riau Dibakar OTK, Ditemukan Jeriken Isi Minyak Tanah
Kominfo Tepati Janji Blokir Platform yang Tak Daftar PSE, PSI Buka Posko Pengaduan
Usai Dibongkar Pesulap Merah, Warga Geruduk Padepokan Samsudin Minta Ditutup
Odong-odong Ditabrak Kereta Api di Banten, Korban Tewas 10 Orang