• Jumat, 29 September 2023

Serangan Bom Atom Hiroshima-Nagasaki dan Buruknya Pendidikan Zaman Jepang

- Rabu, 3 Agustus 2022 | 07:50 WIB
Siswa sekolah dasar zaman Jepang dilatih memegang senjata. Foto: Istimewa
Siswa sekolah dasar zaman Jepang dilatih memegang senjata. Foto: Istimewa

HARIAN MASSA - Serangan bom atom di Kota Hiroshima, pada 6 Agustus 1945 dan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945, memiliki arti besar bagi perjuangan kemerdekaan dan dunia pendidikan di Indonesia.

Seperti diketahui, dalam serangan bom atom di Hiroshima sebanyak 140.000 warga Jepang tewas dan saat serangan bom di Nagasaki sebanyak 80.000 orang tewas. Peristiwa ini menjadi pukulan berat bagi Kekaisaran Jepang.

Dalam menyikapi serangan mematikan dari Amerika Serikat (AS) itu, pertanyaan Kasir Jepang Hirohito yang pertama kepada para pemimpin angkatan perangnya adalah, berapa jumlah guru yang masih tersisa?

Baca juga: Hari Raya Idul Adha 1962, Presiden Soekarno Ditembak dari Jarak 5 Meter saat Sedang Salat

Guru merupakan elemen penting dalam perjuangan, dan kemajuan suatu bangsa. Pada titik terendah itu, Jepang berusaha membangun kembali rakyatnya melalui pendidikan, di mana guru memiliki peran yang sangat penting.

Hasilnya, dapat dilihat sekarang, di mana Jepang berada dalam urutan ketiga besar dunia, setelah Amerika Serikat dan Cina, terutama dalam dunia industri dan tatanan ekonomi pasar bebas. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Serangan bom atom terhadap Hiroshima dan Nagasaki, memiliki arti yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia. Terutama di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan, pada 17 Agustus 1945.

Baca juga: Film Janur Kuning Propaganda Orde Baru Tonjolkan Peran Soeharto Hapus Klaim Sultan

Saat serangan bom atom dijatuhkan, Indonesia masih berada di bawah kekuasaan militer Jepang. Di mana, tentara Jepang menegakkan aturan yang sangat ketat dan kejam, terhadap rakyat dan para pejuang kemerdekaan.

Peristiwa itu baru mengalami perubahan beberapa minggu kemudian, setelah Jepang resmi menyerah dan kalah perang, serta proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan Hatta, di Jakarta.

Kota Jakarta yang sebelumnya seperti kota mati, karena ketakutan dengan tentara Jepang, mulai kembali hidup. Masyarakat mulai berani melakukan aktivitas di luar rumah, di jalan-jalan, dan pergi ke pasar malam.

Baca juga: Kisah Pedih Jaya Suprana Jadi Korban G30S, Ayahnya Diculik Tengah Malam pada Oktober 1965

Pedagang Kaki Lima (PKL), sepeda, dan kendaraan non militer pun mulai terlihat di jalan-jalan. Secara bertahap, sekolah-sekolah kembali dibuka. Anak-anak kembali ke sekolah dan para guru kembali mengajar siswa.

Dalam semangat kemerdekaan, para guru yang sebelumnya bergabung dengan PGI ke dalam PETA, Keibodan, Fujinkai, dan lain sebagainya, akhirnya membentuk PGRI, pada 25 November 1945.

Halaman:

Editor: Ibrahim H

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kisah Ken Arok, dari Sudra Menjadi Raja Singasari

Jumat, 22 September 2023 | 06:30 WIB
X