HARIAN MASSA - Film Janur Kuning yang diproduksi pada tahun 1979 merupakan film propaganda Orde Baru untuk menonjolkan peran Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Film yang menghabiskan biaya dua kali lipat lebih besar dari pembuatan film saat itu, hingga Rp385 juta, berusaha membangun legitimasi historis Orde Baru. Dalam peristiwa itu, Soeharto tampil sebagai pemeran utama.
Dia digambarkan sebagai seorang komandan yang berwibawa, tenang, dan murah senyum. Daya fisiknya luar biasa. Bahkan, saat anak buahnya kelelahan, dia tetap berjalan dengan energik.
Baca juga: Tidak Ada Nama Soeharto dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022
Seorang anggota pasukannya dalam film itu mengatakan, "berjalan tujuh hari tujuh malam, Pak Harto tidak pernah istirahat." Dia juga digambarkan sebagai teladan yang baik bagi anak buahnya.
Ketika ditawari makan oleh penduduk sekitar, dia terlebih dahulu memastikan orang lain memperoleh makanan itu.
Peneliti Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI Asvi Warman Adam mengatakan, fokus kamera dan percakapan pada film itu hanya pada Soeharto. Sedang Jenderal Soedirman dan Sri Sultan hanya disorot sekilas.
Baca juga: Fadli Zon Membela Soeharto terkait Keppres Serangan Umum 1 Maret 1949
"Tindakan untuk membesarkan peran Soeharto dilakukan buku sejarah dan media lainnya seperti film. Salah satunya adalah Serangan Umum 1 Maret 1949," katanya, dikutip dari Pengendalian Sejarah Demi Kekuasaan, Senin (7/3/2022).
Tidak hanya melalui buku sejarah dan film, Soeharto juga kerap menggunakan monumen untuk propagandanya.
Hal ini juga diungkapkan oleh Dr Krishna Sen, dosen Studi Komunikasi Universitas Murdoch di Australia Barat dalam tesis doktoralnya, Indonesia Cinema: Framing the New Orde terbitan Zed Books Ltd 1988.
Baca juga: Pemerintah Tidak Hilangkan Peran Soeharto dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949
Disebutkan bahwa peranan Hamengku Buwono IX dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 sangat kuat. Tetapi dalam film itu, peran tersebut menjadi sangat kecil, sekalipun digambarkan penuh perhatian dan simpatik.
"Film itu mempertunjukkan versi yang diinginkan oleh Presiden (Soeharto), bahwa ia bertemu dengan Sultan hanya setelah serangan itu berlangsung. Urutan kejadian seperti ini menghapus klaim Sultan," sambungnya.
Artikel Terkait
Once Mekel Dukung Anak Penderita Kanker Wujudkan Mimpi
Kedelai Mahal, Pengrajin Tahu Tempe di Tangerang Mogok Produksi dan Lakukan PHK
Benyamin Davnie Targetkan Akhir Bulan Vaksinasi di Tangsel Capai Angka 80 Persen
IDM: Konflik Papua Mencoreng Marwah Bangsa Indonesia menjelang G20
Update Terbaru: Polisi Tangkap 1 Pelaku Pengeroyokan di Trenz Karaoke Tangerang
Warga Histeris Lihat Penampakan Buaya Pemangsa Manusia Seberat 700 Kg dan Panjang 5 Meter
Pemkot Tangerang Akan Gelar Pekan Panutan Pajak
Pemkot Tangsel Belum Ambil Keputusan Soal PJJ Atau PTM, Langkah Ini Akan Diterapkan Ditengah Guncangan Omicron
Diduga Gas Bocor, Tempat Usaha di Pondok Aren Ludes Terbakar
Simak Cerita Tragedi 8 Santri Tewas Terbakar di Karawang