HARIAN MASSA - Hampir setiap tahun, dibulan September dan Oktober, bangsa ini mengenang sejarah kelamnya. Yakni, pembantaian 7 Jenderal TNI AD yang diikuti 500-3 juta anggota dan simpatisan PKI.
Narasi yang dibangun selalu sama, kiri dan komunis berbahaya. Tetapi, sebenarnya ada yang kelewat, yakni DI/TII yang sama ganasnya.
Tulisan jurnalis dan peneliti lepas Made Supriatma ini bisa cukup menarik dijadikan bahan renungan. Bahwa, yang fanatik selalu buruk.
Baca juga: Kisah Muram di Balik Lukisan Misbach Tamrin tentang Pembantaian Massal PKI di Jawa dan Bali
Dimulai dengan tulisan pendek Prof Kathryn Robinson yang mengulas memori dan pengalaman orang-orang yang hidup di bawah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Soroako, Sulawesi Selatan.
Kemenangan Taliban di Afghanistan, tulis Prof Robinson, membawa kembali memori bagaimana hidup di bawah DI/TII. Hal ini jelas lebih relevan ketimbang isu gorengan komunis yang dimainkan setiap tahun.
Gerakan DI/TII dimulai di Jawa Barat oleh seorang Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Gerakan ini didirikan, pada 7 Agustus 1949.
Baca juga: Perubahan Sikap Hercules Setelah Mempelajari Agama Islam, Rajin Puasa dan Sedekah Anak Yatim
Kartosuwiryo ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dengan Syariah sebagai dasar hukumnya. Ia mendaulat dirinya sebagai imam.
Artikel Terkait
Gunung Berapi di Spanyol Kembali Muntahkan Lava
Turun Drastis, Pasien Covid-19 di RLC Tangsel Tinggal Satu Orang
Simak Yuk Sejarah Lenteng Agung Jakarta Selatan
AC Milan Alami Kerugian 96,4 Juta Euro
Polda Jateng Beri Bantuan ‘Manusia Silver' Pensiunan Polisi
Truk Fuso Tergelincir di Jalan Puspitek Tangsel
Jual Kulit Harimau Sumatra, IRT dan 3 Pria Ditangkap Polisi
Polisi Tangkap Pria Misterius Pelaku Penembakan Ustaz Alex di Tangerang
Australia Larang Warga yang Belum Divaksin untuk Ikut Kegiatan Sosial
Motif Penembakan Ustaz Alex di Tangerang Diduga Dendam