Wawasan Kebangsaan dan Pancasila di Mata Budayawan

- Kamis, 23 Februari 2023 | 20:37 WIB
Budayawan DIY, Totok Hedi Santosa
Budayawan DIY, Totok Hedi Santosa

HARIAN MASSA - Wawasan kebangsaan sebenarnya cara pandang sesuatu yang paling hakikat tentang bagaimana kita hidup berbangsa. Pada saat Indonesia mau merdeka, para pendiri bangsa berpikir Indonesia perlu satu dasar negara untuk menyatukan rakyat Indonesia yang berbeda-beda.

Hal ini dikatakan Totok Hedi Santosa, budayawan asal Daerah Istimewa Yogyakarta dalam sosialisasi Perda DIY Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Pendidikan Pancasila dan Wawasan kebangsaan di Sleman, DIY, Selasa 21 Februari 2023.

"Mengingat bangsa kita itu terdiri dari 4500 suku dan 1700 bahasa, dan sekian banyak agama dan kepercayaan, sehingga banyak usulan dalam pidato kemerdekaan Presiden Soekarno waktu itu maka lahirlah Pancasila," kata Totok Hedi.

Dikatakannya, perbedaan yang ada di masyarakat Indonesia, sudah semestinya dianggap sesuatu yang indah, bukan justru menjadi permusuhan. Hal ini menjadi tugas warga dan masyarakat dalam melihat Indonesia dalam kerangka wawasan kebangsaan.

"Dulu memang gagasannya dalam Pancasila urutannya yang pertama adalah kebangsaan dan yang terakhir Ketuhanan yang Maha Esa. Tetapi karena atas nama kompromi bersama para pendiri bangsa, Ketuhanan diberikan urutan pertama. Hal ini untuk menghormati bahwa Indonesia adalah negara religius," tutur Totok Hedi.

Pria yang akrab disapa Tohed ini menjelaskan, bahkan semua agama yang diakui di Indonesia, memiliki jati diri masing-masing yang menghormati kebudayaannya. Sehingga timbul rasa saling menghormati antar umat beragama.

"Bangsa Indonesia tidak akan bisa besar bila tidak kuat budayanya. Contohnya, tidak mungkin Islam di Indonesia harus seperti yang di Arab. Karena sadar kita itu ditentukan oleh budaya yang ada pada kita," jelasnya.

Tohed lantas menjelaskan perjalanan dibuatnya Peraturan Daerah (Perda) Tentang Pendidikan Pancasila dan Wawasan kebangsaan pada 2021. Hal ini untuk membangkitkan kembali marwah dari Pancasila yang sempat redup di masa Orde Baru.

"Pancasila pada Orde Baru hanya digunakan untuk menekan masyarakat. Kalau kamu tidak begini atau begitu berarti kamu tidak Pancasilais," katanya.

Bahkan, lanjutnya, pada masa awal Orde Baru, Pancasila dijadikan alat untuk mengintensifikasikan pangan dengan menyeragamkan pertanian menggunakan benih PB5.

"Pada masa itu bila petani tidak menggunakan PB5 maka akan dipersulit dalam mengurus administrasi dengan pemerintah, seperti mengurus KTP dan lain-lain," ungkapnya.

Dia memaparkan, akibat diseragamkan, saat itu semua padi PB5 diserang hama wereng yang akibatnya merugikan petani. Pasalnya, hama wereng karakternya hanya mampu menyerang satu jenis varietas.

"Tapi dengan adanya local wisdom yang tetap menanam berbagai varietas, justru selamat dari hama wereng selain PB5. Penyeragaman varietas ini juga membuat petani ketergantungan dengan industri sehingga kesulitan mendapatkan pupuk. Sehingga dengan penggunaan pupuk anorganik berlebihan membuat kondisi tanah pertanian rusak," terangnya.

Tohed menjelaskan, analogi pertanian ini dalam ideologi, awal mula kerusakan terjadi karena penyeragaman. Pancasila pada masa itu hanya dijadikan alat pemerintah untuk menekan rakyat agar menurut.

Halaman:

Editor: Giri Prakosa

Tags

Terkini

Wawasan Kebangsaan dan Pancasila di Mata Budayawan

Kamis, 23 Februari 2023 | 20:37 WIB

Pengakuan Algojo: Aku Ikut Menembak Mati Tan Malaka

Rabu, 22 Februari 2023 | 06:55 WIB

Kiai Sadrach dan Kristen Jawa

Minggu, 12 Februari 2023 | 08:20 WIB

Tragedi Ken Dedes dan Akhir Riwayat Tunggul Ametung

Senin, 23 Januari 2023 | 14:58 WIB

Ken Arok, Titisan Dewa Wisnu yang Menjadi Perampok

Jumat, 20 Januari 2023 | 11:23 WIB
X